Soal Dugaan Penggelapan Uang, Kades Langsung Beri Bantahan
JALAKSANA– Sebagai tindak lanjut dari gejolak yang terjadi di desa mereka, kemarin (8/12) sejumlah warga Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana, melakukan unjuk rasa. Sedikitnya 100 warga mendatangi kantor desa sambil membentangkan poster bertuliskan unek-unek mereka. Muara aspirasi dari warga tersebut meminta agar kades mundur dari jabatannya. Sebab mereka menduga bahwa sang kades telah melakukan penggelapan uang kas desa dan penyelewengan jabatan. Pada salah satu poster pun tertulis, BPD diminta tegas untuk menyelesaikan persoalan itu.
Sekitar 100 warga tersebut langsung duduk rapi di aula desa. Tampak polisi dan Satpol PP melakukan penjagaan ketat guna mengantisipasi kekhawatiran yang terjadi. Massa menyuarakan aspirasinya di hadapan jajaran BPD, Camat Jalaksana dan unsur muspika lainnya. Aspirasi warga berlangsung tertib. Emosi mereka berhasil diredam setelah Ketua BPD, H Asep Saputra, Wakilnya Nuzul Rachdy SE dan sejumlah anggota BPD lainnya memberikan penjelasan.
”Tadi malam kita sudah menyarankan kepada kades agar mundur saja dari jabatannya. Tapi beliau menolak. Ya kewenangan BPD hanya sebatas itu. Kita tidak bisa melangkahi kewenangan Inspektorat ataupun pihak Tipikor. Jadi mari kita hormati proses yang sedang dilakukan kedua lembaga tersebut,” kata Ketua BPD, Asep yang diperkuat jajaran BPD lainnya.
Tidak lama kemudian, massa pun membubarkan diri. Mereka menunggu hasil keputusan dari pihak penegak hukum. Meskipun bersikeras meminta agar kades mundur, namun tidak mampu mendesak BPD.
Korlap aksi, Abdul Hadi saat diwawancara mengatakan, pihaknya menyerahkan permasalahan itu kepada pihak penegak hukum. Yang jelas indikasi korupsi, penggelapan atau penyelewengan jabatan sudah diinvestigasi oleh tim 5. Dia juga mengatakan bahwa pada tahun 2010 pembangunan relatif tidak ada, hanya proyek-proyek bantuan saja. ”Tuntutan kami cuma satu, yaitu kades agar mundur. Tadinya kami hanya meminta uang dikembalikan saja, tapi karena bersikeras, ya kami serahkan ke penegak hukum,” tandasnya.
Jajaran BPD saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa BPD telah mengusulkan agar kades meletakkan jabatan. Pihaknya ingin persuasif saja atas kesadaran sendiri. Sebab kewenangan BPD tidak lebih dari itu.
”Terkait dugaan, ada yang diakui oleh kades dan ada juga yang masih menunggu hasil klarifikasi Inspektorat. Yang jelas kami serahkan pada penegak hukum,” kata Wakil Ketua BPD, Nuzul Rachdy. Secara rinci, Nuzul menjelaskan, dana wakaf sebesar Rp25 juta. Lalu dana sertifikat Rp27 juta yang dikembalikan Rp10 juta, disusul pengembalian Rp7 juta. Untuk Kube FM ada yang menggunakan kas desa Rp22 juta dan diakui kades. Sedangkan untuk uang dari Cibulan itu tidak ada masalah. ”Dana-dana yang sudah diakui kades, kami meminta untuk segera dikembalikan karena untuk kepentingan pembangunan desa,” tukasnya.
Di tengah aksi unjuk rasa, Kades Manis Kidul, Drs Eman Suherman masih ngantor di lantai atas. Ia tidak menemui para pengunjuk rasa. Hanya ketika dihampiri Radar, Eman memberikan klarifikasi. Dia membantah telah melakukan penggelapan dana. Justru yang ada adalah utang-piutang. ”Persoalan ini muncul karena ada pemberitaan di media terkait persoalan di desa kami. Pemberitaan tersebut mampu membentuk asumsi di benak warga bahwa saya melakukan penggelapan. Padahal sepeser pun tidak ada uang yang digelapkan. Yang ada cuma utang-piutang yakni persoalan perdata,” tandas Eman kepada wartawan.
Sambil memberikan klarifikasi, pihaknya mengeluarkan bukti tertulis yang merupakan hasil rekap bendahara. Diterangkan, dalam pengeluaran kas desa sejak tahun 2007-2009 terdapat dana yang dipinjam. Bahkan salah satu peminjamnya yakni Nuzul Racdhy, Wakil Ketua BPD sekaligus anggota DPRD Kuningan. ”Beliau meminjam Rp2 juta tapi kemudian dikembalikan. Tapi aneh juga temuan dari tim 5, masa pengeluaran Januari dan Februari 2007 pun dimasukkan. Padahal saya baru dilantik April 2007,” kata dia.
Sebetulnya, total dana yang diakui olehnya hanya Rp56 juta. Itu digunakan untuk biaya operasional Rp6 juta dan administrasi Rp17,5 juta. Rp32 juta itu termasuk utang yang diakuinya. Dia menegaskan bukan Rp184 juta seperti yang dituduhkan. ”Siapa pun boleh punya utang. Negara juga berhutang kok. Apalagi saya punya itikad untuk mengembalikan dalam limit waktu tertentu. Sebetulnya ini bisa diselesaikan di internal desa, tak perlu isnpektorat atau tipikor karena merupakan persoalan perdata. Buktinya saya sudah mengembalikan Rp17 juta,” ungkapnya.
Pihaknya mencium adanya konspirasi atas masalah yang dialaminya. Tim 5 yang dibentuk BPD dinilai bukan menjernihkan masalah melainkan semakin memperkeruh. Padahal tugas Tim 5 tersebut diberikan honor Rp4.200.000. ”Pokoknya, daripada saya menyerahkan Cibulan atau diam tidak berteriak ke pemda, saya memilih untuk meletakkan jabatan kades. Saya menduga akar permasalahannya dari sana. Kalau saja Cibulan diserahkan nampaknya persoalan akan menjadi lain,” tandasnya.
Soal penolakan mundur dari jabatan, Eman tidak mau kemundurannya akibat segelintir orang saja. Sebab para pendukungnya pun lebih banyak. Jika kemudian dirinya mundur, itu menandakan tidak bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan. ”Saya bukan takut mundur, tapi masyarakat yang mendukung saya kan lebih banyak. Pokoknya kalau masalah utang-piutang ini sudah klir, kemudian saya masih terus diseret ke ranah hukum, saya akan PTUN kan Pemda. Kami akan meminta ganti rugi untuk seluruh perangkat desa sejak tahun 2007 sebesar Rp70 miliar. Tim bantuan hukum saya dari Jakarta sudah siap,” ancamnya.
Selain mengklarifikasikan hal itu, Eman pun membeberkan hasil perjuangan Parade Nusantara selama ini tentang RUU tentang desa. Pihaknya bersyukur 9 fraksi di DPR RI telah mendukung pengesahan RUU desa tahun 2011 ini. Belum lama ini Parade Nusantara telah menyerahkan 322 dukungan dari Bupati dan Ketua DPRD se Indonesia. Plus dukungan 9 fraksi DPR RI. Tinggal menunggu Ampres (amanat presiden). Sehingga jika gol, 10 persen APBD akan diberikan ke desa. (ded)
10 Des 2011
Acara Pelepasan Kapolres Mengharukan
KUNINGAN, (KC).- Suasana mengharukan mulai terasa, Kamis (3/11) ketika dimulai acara pelepasan mantan Kapolres Kuningan, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hj. Yoyoh Indayah yang dipromosikan menjadi Wakil Direktur (Wadir) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Polda Jabar di halaman mapolres setempat.
Saat itu dengan didampingi Kapolres Kuningan yang baru, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Wahyu Bintono Hari Bawono, Hj. Yoyoh Indayah diberi kalung bunga terlebih dulu oleh Wakapolres Kuningan, Komisaris Polisi (Kompol) Asep Pujiyono dengan rasa penuh rasa hormat.
Baru sesudah itu, ia berjalan perlahan di tengah-tengah pasukan pedang pora sambil diiringi musik sunda Purwawirahma dengan lagu "pileuleuyan" (perpisahan). Namun di sela-sela itu, ia menghampiri seluruh mantan anggotanya dari mulai perwira sampai pada anggota biasa.
Tidak tahan, isak tangis pun terdengar dari para anggota kepolisian beserta istrinya yang biasanya tegar dan kuat menghadapi segala rintangan sekaligus cobaan dalam melaksanakan tugas keseharian sebagai penegak hukum.
Lebih mengharukannya lagi, di saat Hj. Yoyoh Indayah akan memasuki andong atau delman yang telah dipersiapkan sebelumnya. Delman itu tidak ditarik oleh kuda sebagaimana pada umumnya, melainkan digeret para perwira baik kabag, kasat, kapolsek maupun kanit sambil berlari mengelilingi kantor Mapolres Kuningan.
Sesudah itu, ketika hendak turun dari delman, tiba-tiba Wakapolres beserta kasat dan kapolsek membopong wanita asal Desa Babatan Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan untuk memasuki mobil miliknya yang diparkir di pekarangan mapolres sehingga membuat polisi yang melihat langsung bersorak-sorak.
Saat itu, terlihat senyuman polwan pertama yang pernah memimpin Polres Kuningan sembari meneteskan air mata karena ia pun merasa berat dan kehilangan untuk berpisah dengan seluruh anggota polisi, ulama, media massa dan masyarakat yang selama ini telah membantu tugasnya.
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan tetapi itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Saya melepaskan jabatan selaku Kapolres Kuningan karena diberi kepercayaan oleh pimpinan untuk menjabat selaku Wadir Bimas Polda Jabar," tutur Yoyoh.(Yan Irwandi/Kabar Cirebon)
Saat itu dengan didampingi Kapolres Kuningan yang baru, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Wahyu Bintono Hari Bawono, Hj. Yoyoh Indayah diberi kalung bunga terlebih dulu oleh Wakapolres Kuningan, Komisaris Polisi (Kompol) Asep Pujiyono dengan rasa penuh rasa hormat.
Baru sesudah itu, ia berjalan perlahan di tengah-tengah pasukan pedang pora sambil diiringi musik sunda Purwawirahma dengan lagu "pileuleuyan" (perpisahan). Namun di sela-sela itu, ia menghampiri seluruh mantan anggotanya dari mulai perwira sampai pada anggota biasa.
Tidak tahan, isak tangis pun terdengar dari para anggota kepolisian beserta istrinya yang biasanya tegar dan kuat menghadapi segala rintangan sekaligus cobaan dalam melaksanakan tugas keseharian sebagai penegak hukum.
Lebih mengharukannya lagi, di saat Hj. Yoyoh Indayah akan memasuki andong atau delman yang telah dipersiapkan sebelumnya. Delman itu tidak ditarik oleh kuda sebagaimana pada umumnya, melainkan digeret para perwira baik kabag, kasat, kapolsek maupun kanit sambil berlari mengelilingi kantor Mapolres Kuningan.
Sesudah itu, ketika hendak turun dari delman, tiba-tiba Wakapolres beserta kasat dan kapolsek membopong wanita asal Desa Babatan Kecamatan Kadugede Kabupaten Kuningan untuk memasuki mobil miliknya yang diparkir di pekarangan mapolres sehingga membuat polisi yang melihat langsung bersorak-sorak.
Saat itu, terlihat senyuman polwan pertama yang pernah memimpin Polres Kuningan sembari meneteskan air mata karena ia pun merasa berat dan kehilangan untuk berpisah dengan seluruh anggota polisi, ulama, media massa dan masyarakat yang selama ini telah membantu tugasnya.
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan tetapi itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Saya melepaskan jabatan selaku Kapolres Kuningan karena diberi kepercayaan oleh pimpinan untuk menjabat selaku Wadir Bimas Polda Jabar," tutur Yoyoh.(Yan Irwandi/Kabar Cirebon)
8 Des 2011
Sejarah IBNU SINA
IBNU SINA adalah ilmuan dari kalangan islam yang lebih dikenali di Barat dengan nama “Avicenna” mempunyai nama lengkap Abu Ali al- Husein bin Abdullah bin Ali bin Sina. Beliau merupakan seorang yang berbangsa Parsi. beliau hidup antara tahun 375-433 H, di desa Afshanah dekat kota Kharmaistan Propinsi Bukhara Afghanistan.(Kutipan Al-Qonun fi-thib hal.3 jilid 1 cetakan Beirut)
Pelajaran Pertama Beliau
“Al-Quran, Ilmu adab, Ilmu fiqih, sastera, dan ilmu Mantiq (filsafat)” adalah Pelajaran pertama yang diterimanya. Beliau mulai belajar ilmu Al-Quran dan ilmu adab pada usia 5 tahun dan telah menghafal Al-Quran berumur 10 tahun. Dan ketika beliau meranjak dewasa beliau mulai mempelajari ilmu sastra, ilmu mantiq (filsafat) dan ilmu pengobatan. “Salah satu ilmu filsafat yang beliau pelajarinya adalah “Isaguji fi-ilmi mantiq” yaitu ilmu yang membahas tentang tata bahasa arab yang kontennya mengarah kepada ilmu Filsafat. (Al-Qonun fi-thib hal.3 jilid 1 cetakan Beirut)
Pada masa umurnya meningkat 15-18 tahun Ibnu Sina telah menjadi "Doktor ". Disamping itu, Ibnu Sina juga telah menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada pada waktu itu. Ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqh, perbandingan agama (ushuluddin), tasawuf dan sebagainya sudah dikuasainya ketika baru berusia 10 tahun. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh Abu Abdullah Natili, seorang sahabat karib ayahnya, dan ayahnya sendiri. Antara bidang ilmu yang berjaya dikuasainya termasuklah dalam bidang falsafah, kedoktoran, geometri, astronomi, muzik, syair, teologi, politik, matematik, fizik, kimia, sastera dan kosmologi.
Karya Pertama beliau dibidang Ilmu
Buku berjudul "Al-Majmu" adalah karyanya yang pertama yang kontennya mengadung pelbagai ilmu pengetahuan yang lengkap. Diprediksi usia beliau Pada saat itu berkisar antara 21-25 tahun, ketika dan ketika itu beliau berada di Kawarazm. Kemudian Beliau menulis buku-buku lain. Diantara Nama-nama buku yang pernah dikarang Ibnu Sina, termasuk yang berbentuk risalah ukuran kecil, dimuat dan di himpun dalam satu buku besar yang berjudul "Essai de Bibliographie Avicenna" yang dihasilkan oleh Pater Dominican di Kairo.Antara yang terkandung dalam buku tersebut termasuklah buku karangan yang amat terkenal iaitu Al-Qanun Fit – Tibb.
Pelajaran Pertama Beliau
“Al-Quran, Ilmu adab, Ilmu fiqih, sastera, dan ilmu Mantiq (filsafat)” adalah Pelajaran pertama yang diterimanya. Beliau mulai belajar ilmu Al-Quran dan ilmu adab pada usia 5 tahun dan telah menghafal Al-Quran berumur 10 tahun. Dan ketika beliau meranjak dewasa beliau mulai mempelajari ilmu sastra, ilmu mantiq (filsafat) dan ilmu pengobatan. “Salah satu ilmu filsafat yang beliau pelajarinya adalah “Isaguji fi-ilmi mantiq” yaitu ilmu yang membahas tentang tata bahasa arab yang kontennya mengarah kepada ilmu Filsafat. (Al-Qonun fi-thib hal.3 jilid 1 cetakan Beirut)
Pada masa umurnya meningkat 15-18 tahun Ibnu Sina telah menjadi "Doktor ". Disamping itu, Ibnu Sina juga telah menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada pada waktu itu. Ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqh, perbandingan agama (ushuluddin), tasawuf dan sebagainya sudah dikuasainya ketika baru berusia 10 tahun. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh Abu Abdullah Natili, seorang sahabat karib ayahnya, dan ayahnya sendiri. Antara bidang ilmu yang berjaya dikuasainya termasuklah dalam bidang falsafah, kedoktoran, geometri, astronomi, muzik, syair, teologi, politik, matematik, fizik, kimia, sastera dan kosmologi.
Karya Pertama beliau dibidang Ilmu
Buku berjudul "Al-Majmu" adalah karyanya yang pertama yang kontennya mengadung pelbagai ilmu pengetahuan yang lengkap. Diprediksi usia beliau Pada saat itu berkisar antara 21-25 tahun, ketika dan ketika itu beliau berada di Kawarazm. Kemudian Beliau menulis buku-buku lain. Diantara Nama-nama buku yang pernah dikarang Ibnu Sina, termasuk yang berbentuk risalah ukuran kecil, dimuat dan di himpun dalam satu buku besar yang berjudul "Essai de Bibliographie Avicenna" yang dihasilkan oleh Pater Dominican di Kairo.Antara yang terkandung dalam buku tersebut termasuklah buku karangan yang amat terkenal iaitu Al-Qanun Fit – Tibb.
Pengambaran Anatomi Dan Fisiologi
Anatomi dan fisiologi dalam buku-buku beliau adalah “diskripsi analogi manusia terhadap sebuah dunia dan mikrokosmos (dunia kecil) terhadap alam semesta sebagai makrokosmos (dunia besar).Semisal sebuah gambaran “bahawa alam syurga (faradise) adalah berbentuk “spheric” (bulat) dan bumi berbentuk “square” (persegi) dan dan beliau menyamakan kepala dan kaki dalam sebuah diskrpsi analaoginya : “ Kepala berbentuk spheric (bulat) dan kaki berbentuk square (persegi). Dan beliau juga pernah mengatakan “bahwa terdapat empat musim dan 360 hari dalam setahun”, menunjukan bahwa manusia memiliki empat lengan, yaitu 2 lengan kaki dan 2 lengan tangan serta mempunyai 360 tulang sendi dalam keseluruhan. yang lebih menarik lagi adalah perkataan beliau dalam masalah role position of anatomy. Beliau mengatakan bahwa Hati (heart) adalah ‘raja’-nya anggota, sementera paru-paru adalah ‘wakil’-nya. Leher merupakan “ ventilation cavity (rongga ventilasi’-nya). empedu sebagai “headquarters” markas pusatnya. Limpa dan perut sebagai ‘salvatory (tempat penyimpanan)’ sedangkan usus merupakan digestive system atau sistem pencernaandan pembuangan
Beliau memperkenalkan sirkulasi darah
Didalam salah satu bukunya "Canon of Medicine" memuatkan statement yang tegas bahawa "darah mengalir secara continual dalam suatu perimeter dan tidak pernah berhenti". Namun ini belum dapat dianggap sebagai suatu penemuan tentang srikulasi darah oleh beberapa ahli, kerana bangsa cina belum dapat membedakan antara “urat-urat darah halus (Veins) dengan pembuluh nadi (arferies).
Analogi tersebut hanyalah analogi yang didiskripsikan antara sebuah tempering darah dan siklus alam semesta, alterasi musim dan movement tubuh tanpa praktek secara empirik pada eksistensi yang sesungguhnya.
Anatomi dan fisiologi dalam buku-buku beliau adalah “diskripsi analogi manusia terhadap sebuah dunia dan mikrokosmos (dunia kecil) terhadap alam semesta sebagai makrokosmos (dunia besar).Semisal sebuah gambaran “bahawa alam syurga (faradise) adalah berbentuk “spheric” (bulat) dan bumi berbentuk “square” (persegi) dan dan beliau menyamakan kepala dan kaki dalam sebuah diskrpsi analaoginya : “ Kepala berbentuk spheric (bulat) dan kaki berbentuk square (persegi). Dan beliau juga pernah mengatakan “bahwa terdapat empat musim dan 360 hari dalam setahun”, menunjukan bahwa manusia memiliki empat lengan, yaitu 2 lengan kaki dan 2 lengan tangan serta mempunyai 360 tulang sendi dalam keseluruhan. yang lebih menarik lagi adalah perkataan beliau dalam masalah role position of anatomy. Beliau mengatakan bahwa Hati (heart) adalah ‘raja’-nya anggota, sementera paru-paru adalah ‘wakil’-nya. Leher merupakan “ ventilation cavity (rongga ventilasi’-nya). empedu sebagai “headquarters” markas pusatnya. Limpa dan perut sebagai ‘salvatory (tempat penyimpanan)’ sedangkan usus merupakan digestive system atau sistem pencernaandan pembuangan
Beliau memperkenalkan sirkulasi darah
Didalam salah satu bukunya "Canon of Medicine" memuatkan statement yang tegas bahawa "darah mengalir secara continual dalam suatu perimeter dan tidak pernah berhenti". Namun ini belum dapat dianggap sebagai suatu penemuan tentang srikulasi darah oleh beberapa ahli, kerana bangsa cina belum dapat membedakan antara “urat-urat darah halus (Veins) dengan pembuluh nadi (arferies).
Analogi tersebut hanyalah analogi yang didiskripsikan antara sebuah tempering darah dan siklus alam semesta, alterasi musim dan movement tubuh tanpa praktek secara empirik pada eksistensi yang sesungguhnya.
Sejarah hidup IMAM AL GHAZALI
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).(Sumber: Majalah As Sunnah
Langganan:
Postingan (Atom)